SASTRA INOVASI DAN OTENTISITAS
Masalah-masalah hidup yang ditulis para sastrawan sungguh berbeda dengan para wartawan. Media sastra yang dimiliki sastrawan, mampu mengabadikan kisah-kisah kehiduan, tetap aktual sepanjang zaman. Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.
Katarsis
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun, tak jauh beda. Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra, dapat mencapai puncak imanen, karena dia telah melalui proses katarsis.
Diperbarui
Melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan “bermain” dengan bahasanya. Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju.
Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, harus terus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad 21 berbasis inovasi, sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya “pohon” kreativitas dan otentisitas.
Lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini, adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beran jak maju tatkala elemen ekonomi dan industri mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.
Pemanusiaan Manusia
Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan, justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.
Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya, seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara itu tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.
Humanistik
Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk itu, pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.
Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra, merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.
Katarsis
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun, tak jauh beda. Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra, dapat mencapai puncak imanen, karena dia telah melalui proses katarsis.
Diperbarui
Melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan “bermain” dengan bahasanya. Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju.
Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, harus terus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad 21 berbasis inovasi, sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya “pohon” kreativitas dan otentisitas.
Lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini, adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beran jak maju tatkala elemen ekonomi dan industri mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.
Pemanusiaan Manusia
Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan, justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.
Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya, seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara itu tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.
Humanistik
Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk itu, pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.
Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra, merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.
Sebuah Karakter Bagi Penulis
Penulis yang baik adalah penulis yang memiliki karakter dan keunikan yang tak tergantikan (Raditya Dika). Itulah kalimat intisari yang saya resume setelah membaca sebuah artikel di blog. Artikel tersebut memberikan informasi tentang “sukses menjadi penulis muda ala Raditya dika” yang diselenggarakan di auditorium Arifin Paniggoro Universitas Al Azhar Indonesia. Menurutnya karakter dan keunikan dari seorang penulis itu penting.
Karakter dan keunikan itulah yang nantinya dibutuhkan untuk menumpahkan apa yang ada di pikiran penulis sehingga menjadi sebuah tulisan dengan gaya bahasa unik dari penulis itu sendiri. Memang benar, dengan memiliki karakter dan keunikan dalam gaya penulisan kita. Akan memudahkan kita dalam menuangkan ide ke dalam tulisn. Bahasa yang kita gunakan pun akan mengalir dengan sendirinya, enak dibaca dan tidak terkesan mengada-ada.
Karakter dan keunikan gaya penulisan kita juga memudahkan kita untuk dikenal oleh banyak orang. Mereka akan mengenal kita karena keunikan kita yang humoris misalnya. Dengan kata lain karakter dan keunikan tersebut menunjukan seperti apa diri kita. Apabila kita berkeinginann menjadi seorang penulis layaknya si A yang menjadi penulis tersohor di Indonesia atau mungkin di dunia. Kemudian kita meniru gaya penulisan tokoh yang kita suka. Kalau gaya penulisannya sama dengan kita itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah yaitu apabila kita memaksakan diri sedangkan diri kita aslinya bukan A tetapi B. Tentu lama-kelamaan tulisan kita menjadi tidak konsisten. Kadang menulis A kadang juga menulis B.
So, bagaimana cara menumbuhkan karakter dan keunikan kita sebagai penulis? Karakter dan keunikan itu akan tumbuh dengan sendirinya. Tumbuh sendiri yang dimaksud disini bukanlah dengan berpangku tangan dan berdiam diri jiwa dan karakter penulis kita akan tumbuh. Melainkan dengan latihan menulis dan membiasakan diri untuk terus menulis secara rutin. Dalam seminar di UAI tersebut, Raditya dika mengungkapkan bahwa ia mulai membiasakan diri untuk menulis lewat buku diary sejak kelas 4 SD. Sudah cukup lama bukan? Latihan dan membiasakan diri untuk menulis yang dilakukannya akhirnya membuahkan hasil menjadi seorang penulis dengan gaya bahasanya yang humoris. Tentu bukan hal yang aneh bila karakternya dalam kambing jantan sangatlah kuat.
Latihan dan membentuk karakter memang membutuhkan waktu. Seiring bertambahnya waktu maka karakter itu akan semakin melekat pada diri kita. Raditya dika sudah memulainya sejak kelas 4 SD, sedangkan kita sekarang saja baru memulainya. Apakah itu terlambat? Tidak ada kata terlambat dalam kamus seorang penulis. Mulai sekarang mari kita ciptakan dunia yang penuh dengan tulisan. Sampai kita terlena dengan euforianya. Semoga artikel ini bermanfaat. Ayo semangat untuk terus menulis!
Karakter dan keunikan itulah yang nantinya dibutuhkan untuk menumpahkan apa yang ada di pikiran penulis sehingga menjadi sebuah tulisan dengan gaya bahasa unik dari penulis itu sendiri. Memang benar, dengan memiliki karakter dan keunikan dalam gaya penulisan kita. Akan memudahkan kita dalam menuangkan ide ke dalam tulisn. Bahasa yang kita gunakan pun akan mengalir dengan sendirinya, enak dibaca dan tidak terkesan mengada-ada.
Karakter dan keunikan gaya penulisan kita juga memudahkan kita untuk dikenal oleh banyak orang. Mereka akan mengenal kita karena keunikan kita yang humoris misalnya. Dengan kata lain karakter dan keunikan tersebut menunjukan seperti apa diri kita. Apabila kita berkeinginann menjadi seorang penulis layaknya si A yang menjadi penulis tersohor di Indonesia atau mungkin di dunia. Kemudian kita meniru gaya penulisan tokoh yang kita suka. Kalau gaya penulisannya sama dengan kita itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah yaitu apabila kita memaksakan diri sedangkan diri kita aslinya bukan A tetapi B. Tentu lama-kelamaan tulisan kita menjadi tidak konsisten. Kadang menulis A kadang juga menulis B.
So, bagaimana cara menumbuhkan karakter dan keunikan kita sebagai penulis? Karakter dan keunikan itu akan tumbuh dengan sendirinya. Tumbuh sendiri yang dimaksud disini bukanlah dengan berpangku tangan dan berdiam diri jiwa dan karakter penulis kita akan tumbuh. Melainkan dengan latihan menulis dan membiasakan diri untuk terus menulis secara rutin. Dalam seminar di UAI tersebut, Raditya dika mengungkapkan bahwa ia mulai membiasakan diri untuk menulis lewat buku diary sejak kelas 4 SD. Sudah cukup lama bukan? Latihan dan membiasakan diri untuk menulis yang dilakukannya akhirnya membuahkan hasil menjadi seorang penulis dengan gaya bahasanya yang humoris. Tentu bukan hal yang aneh bila karakternya dalam kambing jantan sangatlah kuat.
Latihan dan membentuk karakter memang membutuhkan waktu. Seiring bertambahnya waktu maka karakter itu akan semakin melekat pada diri kita. Raditya dika sudah memulainya sejak kelas 4 SD, sedangkan kita sekarang saja baru memulainya. Apakah itu terlambat? Tidak ada kata terlambat dalam kamus seorang penulis. Mulai sekarang mari kita ciptakan dunia yang penuh dengan tulisan. Sampai kita terlena dengan euforianya. Semoga artikel ini bermanfaat. Ayo semangat untuk terus menulis!
Biografi 11 Penulis Puisi Terkenal Indonesia
Penulis Puisi – Selamat pagi Anak-anak Alam! Selamat menikmati hari. Sebelumnya Om pernah membahas tentang pengertian puisi. Nah, jika kalian merasa lebih tertarik tentang puisi, maka kali ini undangan yang ingin Om kirimkan pada kalian berisi 11 orang penulis puisi terkenal Indonesia. Terkenal? tentu saja kalian tidak perlu mempertanyakan lagi tentang karya mereka kan. bahkan salah satu dari mereka menorehkan puisinya di dinding khusus Museum di Leiden, Belanda. Langsung saja, ini dia 11 penulis puisi terkenal di Indonesia, dimulai dari…
Chairil Anwar

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 adalah penyair terkemuka Indonesia. Sering dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” karena salah satu puisinya yang berjudul “Aku” atau “Semangat”.
Oleh H.B. Jassin, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor dari Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia. Namanya mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahu 1942, saat itu usianya baru 20 tahun. Selama hidupnya, dia telah menulis sekitar 94 karya, ini termasuk 70 puisi. Semua tulisannya tersebut diterbitkan dalam bentuk kompilasi oleh Pustaka Rakyatdengan judul Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya Chairil Anwar sempat ditolak oleh majalah Pandji Pustaka karena dianggap terlalu individualitas dan moderat dari aturan-aturan puisi saat itu. Karya-karyanya tersebar dalam tulisan-tulisan di atas kertas murahan saat pendudukan Jepang. Namun nyatanya, siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar sekarang? Bahkan di luar negri, puisinya berjudul aku ditulis pada sebuah tembok dan menjadi monument.
Asrul Sani

Asrul Sani, lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926, adalah seorang sastrawan dan sutradara film yang ternama di Indonesia. Dia dikenal sebagai salah satu pelopor Angkatan 45, bersama-sama dengan Chairil Anwar. Antologi Tiga Menguak Takdir yang ditulisnya bersama-sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin membuat karir kepenyairannya menanjak. Selain itu, mereka juga memproklamirkan manifestasi sikap kebudayaan mereka dengan Surat Kepercayaan Gelanggang, diaman hal ini membuat mereka memiliki nama dikalangan sastrawan.
Sitor Situmorang
Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu dengan marga Situmoran dari Suku Batak Toba. Dia lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Sitor Situmorang dikenal sebagai wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia.
Karir kepenyairannya dikatakan oleh A. Teeuw bersinar setelah meninggalnya Chairil Anwar. Dia memulai kariernya sebagai wartawan harian Suara Nasional dan harian Waspada. Dia juga pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, anggota Dewan Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan, dan Ketua Lembaga Kebudayaan nasional. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor pernah dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta mulai tahun 1967-1974.
Karya-karyanya antara lain Surat Kertas Hijau (kumpulan puisi (1954),Jalan Mutiara (drama (1954), Dalam Sajak (kumpulan puisi (1955),Wajah Tak Bernama (kumpulan puisi (1956), Rapar Anak Jalang(1955), Zaman Baru (kumpulan puisi (1962), Pangeran (kumpulan cerpen (1963), Sastra Revolusioner (kumpulan esai (1965), Dinding Waktu (kumpulan puisi (1976), Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (otobiografi (1981), Danau Toba (kumpulan cerpen (1981), Angin Danau (kumpulan puisi (1982), Bunga di Atas Batu (kumpulan puisi (1989), Toba na Sae (1993), Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (sejarah lokal (1993), Rindu Kelana(kumpulan puisi (1994), dan Peta Perjalanan (kumpulan puisi) yang mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, adalah seorang penyair terkemuka Indonesia. Pada awal karir kepenulisannya karya-karya Sutardji dimuat dalam surat kabar di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Melalui sajak-sajaknya Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian di Indonesia setelah periode Angkatan 45. Terutama karena kredo kepenyairan yang diungkapkannya bahwa hendak membebaskan kata-kata dari kungkungan makna, dan kata hendak dikembalikannya pada fungsi kata yang sebenarnya (yaitu sebagai penanda) seperti dalam mantra. Selain itu, dia juga memperkenalkan cara membaca puisi yang baru dan unik di dunia kesusastraan Indonesia.
Kumpulan sajaknya yang berjudul O Amuk Kapak adalah penerbitan lengkap dari sajak-sajak Sutardji dari periode penulisan 1966 sampai 1979, antologi ini merupakan gabungan dari tiga antologi sebelumnya yang berjudul sama yaitu O, Amuk, dan Kapak. Kupulan sajak O Amuk Kapak ini mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukan Sutardji pada perpuisian di Indonesia. Walaupun sayangnya, dia sudah berubah aliran di masa tuanya sekarang ini dalam hal menulis puisi.
Abdul Hadi Wiji Muthari
Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari atau yang lebih dikenal dengan nama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 adalah seorang sastrawan budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Dia dikenal karena karya-karyanya yang bercorak sufistik dan penelitan-penetiannya dalam bidan kesusastraan Malyu di Nusantara, serta pandangan-pandangannya tentang Islma dan Pluralisme.
Para pengamat kesenian menyebutnya sebagai pencipta puisi Sufis di era 70-an. Karena karya-karyanya banyak berisi tentang kesepian, kematian, dan waktu. Karena itu, dia sering dibandingkan dengan sahabatnya, yaitu Taufik Ismail, yang juga kerap menulis puisi religi.
Karya-karnya antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luar Prabhang dan Pembawa Matahari, dan lain-lain.
Taufiq Ismail

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra barat, 25 Juni 1935, adalah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Sejak masih di SMA, dia sudah bercita-cita akan menjadi seorang sastrawan. Untuk menbiayai mimpi sastranya itu, dia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan, agar bisa memiliki bisnis peternakannya sendiri (tapi ini gagal, dan tidak terlaksana).
Oleh H.B. Jassin, Taufiq Ismail disebut sebagai penyair Angkatan 66. Tapi Taufiq Ismail merisaukannya karena takut merasa puas dan membuatnya malas menulis lagi. Karya-karyanya antara lain Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawan-Antologi Sastra Aceh, dan masih banyka lagi.
W.S. Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan nama W.S. Rendra lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935, adalah sastrawan besar Indonesia.
Sejak muda, dia telah memulai karir sastrawannya dengan menulis banyak puisi, naskah drama, cerpen, dan esai sastra di banyka media massa. Puisinya pertama kali dipublikasikan pada tahun 1952 di majalah Siasat. Dari situ, puisi-puisinya terus dipublikasikan di berbagai majalah pada masa itu seperti malajalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Dan terus berlanjut pada decade 60-an sampai 70-an.
Dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989), A. Teeuw mengatakan bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Karya-karyanya antara lain Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency, dan Do’a Untuk Anak-Cucu.
Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, lahir di Surakarta, 20 maret 1940, adalah seorang penyair Indonesia. Akrab disebut SDD, dikenal melalui puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana dan romantis. Beberapa puisinya sangat populer dan dikenal oleh banyak lapisan masyarakat, misalnya puisinya yang berjudul Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Sebagian besar kepopuleran puisinya ini disebabkan karena puisi-puisi sapardi dibuat musikalisasinya.
Mustofa Bisri
K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Mus, lahir di Rembang, Jawa tengah, 10 Agustus 1944, adalah seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal dikalangan sastrawan. Selain itu, dia juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin di Leteh, Rembang, Salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga sekarang ini.
Karya-karyanya antara lain Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997), dan lain-lain
Ajip Rosidi

Ajib Rosidi, lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, adalah sastrawan, penulis, budayawan, dosen, pendiri dan redaktur beberapa penerbit, serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.
Menurut Dr. Ulrich Kratz, Ajip Rosidi adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif sampai tahun 1983, dengan 326 judul karyanya yang dimuat dalam 22 majalah. Buku pertamanya yang berjudul Tahun-tahun Kematian terbit ketika dia berusia 17 tahun. Dia juga menulis kumpulan sajak, kumpulan cerpen, roman, drama, esai dan kritik, hasil penelitian, dan lain-lain.
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung tema islami. Dia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, dan penyair. Karya-karya puisinya antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), Sajak-Sajak Cinta (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), 102 Untuk Tuhanku (1983), Suluk Pesisiran (1989), Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Abacadabra (1994), dan Syair-syair Asmaul Husna (1994).
Itulah 11 penulis puisi terkenal di indonesia. Tentu saja masih banyak yang sama terkenalnya, hanya saja 11 ini adalah orang-orang yang Om pilihkan untuk kalian. Apalagi pada zaman sekarang, sudah banyak penyair penyair muda yang bahkan sudah mendunia. Mungkin pada kesempatan lain akan Om perkenalkan pada kalian. Hanya saja untuk kali ini, semoga 11 orang ini bisa menginspirasi kalian. Semoga bermanfaat dan, selamat menikmati hari.
No comments:
Post a Comment